Sejarah Perkembangan Pers Nasional dan Dunia
Nama : ALIN BUDI SARASTA
NIM : 6102415065
Prodi : PGPJSD 2015
SEJARAH PERKEMBANGAN PERS DI DUNIA DAN DI INDONESIA
Perkembangan Pers di Dunia
Sebelum bubarnya Negara Uni Republik Sosialis Soviet, kita bisa dengan
mudah membedakan sistem pers dalam dua kelompok besar: Pers Barat yang menganut teori pers bebas atau
liberal dan Pers Timur yang menganut pers komunis. Pers Barat di
wakili oleh Amerika dan Negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Karena Amerika
adalah pencetus teori tanggung jawab sosial atau dikenal pula sebagai komisi
kebebasan pers (1942-1947) Sedangkan Pers Timur diwakili oleh Uni Soviet dan
negara-negara satelitnya di Eropa TimurTetapi, sejak bubarnya Negara Uni
Soviet, dan sistem politik Negara-negara Eropa Timur yang menganut paham
komunis itupun ikut berubah, maka dikotomi antara Pres Barat dan Pers Timur itu
kiranya sudah tidak relevan lagi.Sistem Pers Timur berbeda sekali dengan sistem
Pers Barat bahkan sangat bertentangan. Karena dalam sistem Pers Timur, berita
tidak dipandang sebagai barang dagangan. Maksud dari berita tidak dipandang
sebagai barang dagangan disini adalah bahwa berita bukan untuk pemuas nafsu
rasa ingin tahu namun berita adalah keharusan ikut berusaha
mengorganisasikan pembangunan dan pemeliharaan Negara sosialisSedangkan Pers
Barat memandang berita sebagai barang yang dapat diperjual belikan maka itu
berita yang di sampaikan pada khalayak harus menarik.
Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia
Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman
jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk
meneritkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera
dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun
(Jepang-Kanji).Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan
Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di
dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo
Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata,
G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan
lain-lain.
1. Setelah
Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan tentang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di
Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta
penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh
wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia.RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada
tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi
mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro,
Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro.
saat berdirinya, RRI langsung
memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto,
Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.Surat kabar Republik I yang terbit di
Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945.
Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan
dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya
hambatan distribusi.Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di
Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa
pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke
daerah-daerah yang terpencil.
Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja
(sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang
Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di
Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik
yang baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat
kabar Republik, dengan nama lama atau berganti nama.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu
mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan
surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya
(Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan
pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama
kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap
mempunyai semangat tinggi.Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di
Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di wilayah RI ini.
Hal itu disebabkan jumlah
wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa.
Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta,
Solo, dan Surabaya.Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk
menyatukan barisan pers nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan
dan penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah,
maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi
mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan
terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1
pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit.
Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan
yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung
menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan,
sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut.
Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum
separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan
propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan
dan kepanikan di kalangan masyarakat luas
.Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke
Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam
Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh Mochtar
Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya
sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yang baru
tersebut.Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal
19 Desember 1948 penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa
Belanda dan kaum separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan
melakukan penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik.
Pada masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap
dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada
yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan
di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan
berupa stensilan.Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi
pihak lain, seperti; kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan
Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir
adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan
usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan)
Republik.
Masa Orde
Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap
orang yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan surat kabar atau majalah.
Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat kabar dan
majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga banyak
Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan
surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus
terbit dengan teratur.Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda),
setelah pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran
bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung
oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu
dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap.
Selain itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang
lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap
dan canggih dibandingkan dengan percetakan koran bangsa Indonesia.Matinya
majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar
disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional,
teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping
itu munculnya koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat
keadaan semakin buruk.Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin,
surat kabar dan majalah yang tidak bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi
Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan. Semakin lama peaturan
ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala bentuk
termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan
yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang
melakukan penyiaran kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan
Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.SIT adalah
Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada
masa Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit
pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan
dillakukannya kegiatan penyiaran.
Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal
pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu
jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia
diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi
pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan
mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi
Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati
pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui
PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat
menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.BPS singkatan dari Badan
Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk menandingi
organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti Melik
BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos (Naionalis, Agama,
Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik
sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI
dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan
fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha,
Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu
akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya
mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu
perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan
mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk
Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution
juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan
yang sama.Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan
media massa yaitu:
1. Disiplin kerja.
Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi
dengan patuh pada indtruksi atasan.
2. Jaminan
Sosial.
Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
3. Hubungan dengan
fungsionaris/tokoh partai.
Hubungan ini akan mempermudah control
atas tiap anggota.Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers
nasional sesuai dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966.
Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan
Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di
Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.Setelah DPR berhasil
merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember
1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU
Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ
sendiri.Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam
praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers.
Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah
untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.Selama
masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi
berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan
ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi
pembangunan pers Pancasila.Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju
tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya yang dialkukan
adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers, masyarakat dan
pemerintah.
Masa
Orde Baru dan Era Reformasi
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan
masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan
pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh
bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto,
kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo,
ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan
bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk
menentukan corak dan arah isi pers.Bagi Indonesia sendiri, pengekangan
pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial
Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di
Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan
pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan
pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu
dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan
adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984
Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP
merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.Terjadinya pembredelan
Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem
hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara
hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde
baru.Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat
merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai
Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam
menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat.
Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan
menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.
Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang
kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.Suatu pencerahan datang kepada
kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu
rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial,
budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi
merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara
penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral
dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan
sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai
konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.Peran inilah
yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya,
antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers
Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.
Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik
dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa
juga menjadi ciri baru pers Indonesia.Pers yang bebas merupakan salah satu
komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai
prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara
kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting.
Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan
informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan
memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak
terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang
jalannya pemerintahan.Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka
saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang
dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde
Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan.
Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering
kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik
masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi
pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat
membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan
dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas
sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan
(seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif,
sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.Ada hal lain yang harus
diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah
agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan
apa yang mereka yakini.Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa
pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa,
yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan.
Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi
ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media
massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak
tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari
komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap
semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun
menjadi sajian sehari-hari.Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi
sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar
mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan
naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab
sosial.Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak
alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh
pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor
sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen.
Pertama, sensor melanggar hak alamiah
manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran
mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga,
sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran,
manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang
disodorkan kepadanya.Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita
membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press).
Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media
massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan,
kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan
pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan
pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah
mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan
rakyat.Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi
kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak,
baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan
sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena
ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers
harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang
diinginkan.
Mengutip :
Leave a Comment